Kamis, 12 April 2012

RINGKASAN FIQIH MUAMALAH

DAFTAR ISI
BAB I : TEORI HAK
A. Pengertian
B. Macam-macam Hak
1. Hak Allah
2. Hak Anak Adam
3. Hak Musytarak
4. Hak Finansial
5. Hak Syakhsi dan Hak Aini
6. Hak Diyani dan Qadlai
7. Antara Hak dan Iltizam
8. Sumber-Sumber Hak
9. Akibat Hukum Suatu Hak
BAB II : TEORI HARTA
A. Definisi Harta
B. Pembagian Harta
1. Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
2. 'Iqar dan Manqul
3. Mitsli dan Qilmi
4. Istikhlaki dan Isti'mali
BAB III : TEORI KEPEMILIKAN
A. Pengertian
B. Macam-Macam Kepemilikan
BAB IV : TEORI AKAD
A. Asal usul Akad
B. Pengertian
C. Pembentukan Akad
BAB V : JUAL-BELI
A. Pengertian
B. Landasan Hukum
C. Hukum Jual Beli
D. Rukun Jual-beli
1. Adanya Penjual dan Pembeli
2. Adanya Akad
3. Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
BAB VI : JUAL-BELI MURABAHAH
A. Pengertian Murabahah
B. Syarat Murabahah
C. Jenis Murabahah
D. Rukun Murabahah
BAB VII : JUAL-BELI SALAM
A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah Syariah
B. Landasan Hukum
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Dalil Ijma'
C. Rukun Akad Salam
1. Shighat
2. Kedua-belah Pihak
3. Uang dan Barang
D. Syarat Akad Salam
1. Syarat Pada Uang
2. Syarat Pada Barang
BAB VIII : JUAL-BELI ISTISHNA'
A. Definisi
B. Landasan Hukum
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma'
4. Kaidah Fiqhiyah
5. Logika
C. Rukun
1. Kedua-belah pihak
2. Barang yang diakadkan
3. Shighah (ijab qabul)
D. Syarat
BAB IX : IJARAH
A. Pengertian
B. Landasan Hukum
C. Rukun Ijarah
D. Syarat Ijarah
BAB X : AKAD JU’ALA
A. Pengertian Ju’alah
B. Dasar Hukum Ju’alah
C. Rukun dan Syarat Ju’alah
D. Sifat Akad Ju’alah
BAB XI : TEOI WADI’AH
A. Pengertian
B. Dasar Hukum
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ijma’
C. Hukum Menerima Benda Titipan
D. Rukun dan Syarat Wadi’ah
BAB XII : TEORI RIBA
A. Pengertian Riba
B. Pembagian Riba
1. Riba Qardh
2. Riba Jahiliyyah
3. Riba Fadhl
4. Riba Nasi’ah
C. Hukum riba
BAB XIII : SYIRKAH
A. Pengertian
B. Landasan Hukum
C. Jenis-jenis Syirkah
ii. Syirkah Amlak (Kepemilikkan)
iii. Syirkah Uqud (Transaksi)
BAB XIV : MUDHARABAH
A. Pengertian
B. Landasan Hukum
1. Al-Quran Al-Kariem
2. As-Sunnah
3. Ijma'
C. Jenis Mudharabah
1. Muthlaqah
2. Muqayyadah (terbatas)
D. Rukun Mudharabah
1. Pelaku
2. Objek Transaksi
3. Pelafalan Perjanjian
E. Syarat Dalam Mudharabah
1. Syarat Sah
2. Syarat fasad (tidak benar)
BAB XV : AKAD WAKALAH
B. Pengertian
C. Dasar Hukum Wakalah
D. Rukun dan Syarat-Syarat dalam Wakalah

BAB I : TEORI HAK
A. Pengertian
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban' hal ini bisa dipahami dari firman Allah dalam QS. Al Anfal:8 atau juga dalam QS. Yunus:35
Secara istilah, hak memiliki beberapa pengertian dari para ahli fiqh. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah kemashlahatan yang boleh dimiliki secara syar'i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa , hak adalah sebuah keistimewaan yang dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan (otoritas) atau sebuah beban (taklif). (Zuhaili, 1989, IV, hal.9)
Dalam definisi ini, hak masuk dalam ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti hak kepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi orang tua, hak untuk dipathi seorang isteri bagi seorag suami. Atau juga masuk dalam ranah publik, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau hak-hak finansial, seperti hak menerima nafkah, dan lainnya.
Dalam ajaran islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadkan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara' . Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara'. tidak akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang mendukungnya.
B. Macam-macam Hak
1. Hak Allah
Hak Allah adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah dan mengabdi pada-Nya, menegakkan syariat agama-Nya. Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari shalat, puasa, zakat, haji,amar ma'ruf nahi mungkar, dan ibadah lain yang sejenis. Atau bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak dikhususkan ada individu tertentu, seperti penegakkan hukum potong tangan bagi pencuri, penegakkan hukum atau had bagi para pezina, pemabuk atau pelaku tindak kriminal lainnya.
2. Hak Anak Adam
Hak anak Adam adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemashlahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan, dan lainnya. Atau bersifat khusus, seprti menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek transaksi, hak ganti rugi seseorang yang hartanya dirusak, hak seorang isteri atas nafkah suami, dan lainnya. Hak anak dam bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasan tertentu, bisa juga diwariskan.
3. Hak Musytarak
Hak musytarak adalah persekutuan antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun adakalanya hak Allah yang dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya masa iddah seorang isteri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupa menjaga pencampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Dalam konteks ini, hak Allah dimenangkan, karena menjaga pencampuran nasab lebih umum kemanfaatannya bagi masyarakat publik.
Contoh kedua, hak qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dlam hak ini terdapat hak Allah, yakni membebaskan manusia dari tindak kriminal pembunuhan. Selain itu, terdapat hal wali orang yang terbunuh, yakni menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya dengan matinya orang yang membunuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anak Adam yang dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas adalah adanya persamaan.
4. Hak Finansial
Hak finansial adalah hak yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yang obyeknya berupa harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas harga barang (uang), hak seorang pembeli atas obyek transaksi, hak syuf'ah, hak khiyar, hak penyewa untuk menempati rumah dan lainnya.
5. Hak Syakhsi dan Hak Aini
Hak syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara' untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi, hak seorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di ghasab atau dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak 'aini adalah kewenangan yang ditetapkan syara' untuk seseorang atas suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan secara langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memanfaatkanya tanpa seizin pemiliknya.
6. Hak Diyani dan Qadlai
Dari segi kewenangan hakim, hak dibagi menjadi hak diyani (hak keagamaan) dan hak qadlai (hak kehakiman). Hak diyani adalah hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh kekuasaan negara atau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang ayau transaksi lainnya yang tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekalipun demikian, di hadapan Allah tanggung jawab berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya, sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Sedangkan hak qadlai adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturan kekuasaan kehakiman sepanjang si pemilik hak tersebut mampu dan membuktikan haknya di depan pengadilan.
7. Antara Hak dan Iltizam
Substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedang pelaku disebut iltizam. Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban. Sedangkan secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang pemilik hak dinamakan multazam atau shahibul haqq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitn dalam sebuah hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
8. Sumber-Sumber Hak
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariat dan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut;
• Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al'aqidaini) untuk melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa-menyewa dan lainnya.
• Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang mengucapkan sebuah janji atau nadzar.
• Al-fi'lun nafi' (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongn, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya.
• Al-fi'lu al-dlar (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban tertentu.
9. Akibat Hukum Suatu Hak
Pada prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setipa pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau perusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya.
Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan ibadah-Nya, atau juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya. Di samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untuk menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun hak anak Adam juga dilindungi dengan norma agama, seperti kewajiban setiap insan untuk menghormati hak orang lain atas harta, harga diri, atau darahnya. Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak, maka pihak pemerintah atau hakim wajib memaksa pihak tertentu agar memenuhi hak orang lain.

BAB II : TEORI HARTA
A. Definisi Harta
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer, Kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau tempat tinggal.
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
 Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri.
 Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia. Konsekuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya.
B. Pembagian Harta
1. Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, seperti makana, pakaian, kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya.
Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Impilikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
1. Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal al mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya. Untuk ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka transaksinya rusak atau batal adanya. Al-maal al mutaqawwimsebagaiobyek transaksi, merupakan syarat sahnya sebuah transaksi.
2. Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak, maka harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus dganti semisalnya, namun tidak bisa diganti sesuai dengan nilainya.
3. Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah.
2. 'Iqar dan Manqul
Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentu fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderungmempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.
Implikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan terdapat beberapa implikasi hukum sebagai berikut
1. Dalam harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan harta manqul tidak terdapat di dalamnya, kecuali hartamanqul tersebut menempel pada harta 'iqar.
2. Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan adalah harta 'iqar. Harta manquldiperbolehkan jika menempel atauikut terhadap harta 'iqar, seperti me-waqaf-kan tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secara umum sudah menjadi obyek waqaf, seperrti mushaf, kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda dengam jumhur ulama, menurut mereka. kedua macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai obyek waqaf.
3. Seorang wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada dalam tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti untuk membayar hutang, memenuhi kebtuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diprioritaskanuntuk dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki kemaslahatan lebih besar bagi pemilikinya, jadi tidak mudah untuk menjualnya.
4. Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh ditransaksikan, walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia tidak bisa ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan terjadinya kerusakan sangat besar.
3. Mitsli dan Qilmi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat bagian:
1. Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras;
2. Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga;
3. Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya;
4. Al dzira'iyat (sesuatuyang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah
Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yang memilki kualitas dan bntuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya;
1. Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
2. Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta qimi,
3. Jika harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis menjadi harta mitsli.
Implikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi sebagai berikut;
1. Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual-beli hanya dengan menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa menjadi tsman. Jika harta qimi dikaitkan dengan hak-hak finansial, maka harus disebutkan secara detail, karena hal itu akan mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya akan berbeda nilainya dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenis dan sifatnya sama.
2. Jika harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama.
3. Tapi jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan keinginanya, walaupun tanpa izin dari pihak lain. Berbeda dengan harta qimi walaupun mungkin jenisnya sama, tapi nilainya bisa berbeda, dengan demikian pengambilan harus atas izin orang-orang yang berserikat.
4. Harta mitsli rentan dengan riba fadl. Jika terjadi pertukara diantara harta mitsli, dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas, dankadarnya, maka akan terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimiyang relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapatperbedaan, maka tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba.
4. Istikhlaki dan Isti'mali
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.
Implikasi hukum
Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta tersebut bisa dijadikan sebagaiobyek jual beli atau titipan.
Disamping itu, Mustafa A. Zarqa juga membagi harta menjadi maal al ashl dan maal al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan harta lain. Sedangakan harta maal al tsamarahadalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan dari maal al ashl tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang kebun menghasilkan buah-buahan. Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakan maal al tsamarah (Zarqa,III,HAL.217-218).
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut;
1. Pada prinsipnya, harta wakaf tidk dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik peorangan, namun hal serupa dapat dilakukan terhadap hasil harta wakaf.
2. Harta yang dipruntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seerti jalan dan pasar,pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh erseorangan. Sedangkan penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki (Mas'adi,2002, hal.27-28)

BAB III : TEORI KEPEMILIKAN
A. Pengertian
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'. (Zuhaili, 1989, IV, hal.56-57)
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjad aset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepadas asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu.
Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut.
Begitu jiuga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh di diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatar belakangiadanya dlarurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layakny harta anak yatimyang tidak boleh ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas. (Zuhaili, 1989, IV,hal.57-58)
B. Macam-Macam Kepemilikan
Dilihat dari unsur harta (benda dan manfaat), kepemilikan dapat dibedakan menjadi milk tamm dan milk al-naqish. Milk tamm adalah kepemilikan atas benda seka;igus atas manfaatnya, pemilik memiliki hak mutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu, kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkan syara', seperti jual beli, mekanisme hukum waris, ataupun wasiat.
Dalam milk al tamm, pemilik memiliki kewenangan mutlak atas harta yang dimiliki. Ia bebas melakukan transaksi, investasi atau hal lainnya, seperti jual beli, hibah, waqf, wasiat, i'arah, ijarah, dan lainnyakarena ia memilikidzat harta benda sekaligus manfaatnya. Jika ia merusak harta yang dimiliki, maka tidak berkewajiban untuk menggantina. Akan tetapi, dari sisi agama, ia bisa mendapatkan sanksi, karena merusak harta benda haram hukumnya.
Sedangkan milk al naqish (kepemilikan tidak sempurna) adalahkepemilikan atas salah satu unsur harta benda saja. Bisa berupa kepemilikian atas manfaat tanpa memiliki bendanya, atau kepemilikan atas bendanya tanpa disertai pemilikan manfaatnya.Milk al naqish dapat dikatagorikan sebagai berikut. (Zuhaili, 1989, IV, hal.59-61)

BAB IV : TEORI AKAD
A. Asal usul Akad
Akad adalah bagian dari macam-macam tasharruf (perpindahan), yang dimaksud dengan tasharruf ialah ”segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa haknya”.
Tasharruf terbagi menjadi dua:
a. Tasharruf fi’li (perbuatan)
Yaitu usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain dari lidah, seperti memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusakan benda orang lain.
b. Tasharruf qauli (perkataan)
Yaitu tasharruf yang keluar dari lidah manusia. Tasharruf qauli terbagi dua:
a) Tasharruf qauli ’aqdi, yaitu sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dari kedua belah pihak yang saling bertalian, seperti jual beli, sewa menyewa dan perkongsian.
b) Tasharruf qauli bukan ’aqdi, terbagi menjadi dua: (a) merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, thalak dan memerdekakan, (b) tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, seperti gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan (tak ada aqad, tapi perkataan semata)
B. Pengertian
1. Menurut segi bahasa
 Mengikat (Arrabthu), yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga bersambung, kemudian keduanya sebagai potong benda.
 Sambungan (’aqdatun), yaitu sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
2. Menurut etimologi, akad antara lain
 ”Ikatan antara dua perkara, baik secara maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Bisa juga ”Al-Aqd (sumbangan), ”Al-ahdi dan janji dan janji
 menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus:
a. Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu: ”segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan dan gadai”.
b. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara lain:
 Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya
 Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.” contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual, ”saya telah menjual barang ini kepadamu.” atau ”saya serahkan barang ini kepadamu.” contoh qabul, ”saya beli barangmu” atau ”saya terima barangmu”.
 Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.
C. Pembentukan Akad
1. Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
a. Dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad (’aqid)
Yaitu dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam perjanjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal:
 Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
 Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
 Akad itu dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya
b. Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih)
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
 Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati, sepserti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin bisa dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis, namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
 Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
 Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga dan itu dilarang
 Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
 Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung, dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada dilokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salam, dimana seseorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi: ”barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam hendaknya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul
Definisi ijab dan qabul menurut ulama Hanafiyah. ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
Pendapat lain secara umum, ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.
Para ulama telah sepakat bahwa akad itu sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima barang, yakni seorang penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang bayarannya tanpa adanya ucapan dari salah seorang diantara mereka berdua. Kenyataan pada zaman modern sekarang, transaksi bisa dilakukan dengan perangkat komputer dengan tanpa adanya ucapan dari salah seorang. Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah bahwa jual beli semacam itu sah berdasarkan hal-hal berikut:
 Hakikat dari jual beli yang disyariatkan adalah menukar harta dengan harta dengan dasar kerelaan hati dari kedua belah pihak, tidak ada ketentuan syar’i tentang harusnya lafal tertentu. Sehingga semuanya dikembalikan kepada adat istiadat.
 Tidak terbukti adanya ijab qabul secara lisan dalam nash-nash syariat. Kalau itu merupakan syarat, pasti sudah ada nash yang menjelaskan.
 Umat manusia telah terbiasa melakukan jual beli dipasar-pasar mereka dengan melakukan serah terima barang saja (tanpa pengucapan lafal akad) diberbagai negeri dan tempat, tanpa pernah diingkari ajaran syariat. Sehingga itu sudah menjadi ijma

D. Syarat-syarat ijab dan qabul:
a. Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada dalam satu lokasi. Karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari akad bila ia bertemu langsung dengan qabul. Perlu dicatat, bahwa persamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi zaman. Akad itu bisa berlangsung melalui pesawat telepon, dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya percakapan telepon, selama percakapan itu masih berlangsung dan line telpon masih tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam lokasi akad. Semua kaidah-kaidah tersebut diatas tidak berlaku bagi akad nikah karena mengharuskan adanya saksi, tidak juga untuk sharf (penukaran mata uang asing) karena ada syarat penyerahan barang langsung, juga tidak untuk jual beli salam (karena ada syarat pembayaran harus dibayar dimuka).
b. Antara ijab dan qabul harus sesuai
c. Ijab dan qabul harus jelas maksudnya sehingga difahami oleh pihak yang melangsungkan akad

BAB V : JUAL-BELI
A. Pengertian
Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
•    
Artinya : mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. Fathir : 29).
Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.
Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah (مقابلة مال بمال تمليكا) yang berarti : tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan.
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا), yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan".
B. Landasan Hukum
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)
Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ قَالَ: إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)
C. Hukum Jual Beli
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW.
D. Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual-beli itu menjadi tidak sah hukumnya. Rukunnya ada tiga perkara, yaitu :
• Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
• Adanya akad / transaksi
• Adanya barang / jasa yang diperjual-belikan.
1. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli menjawab,"Aku terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli.
Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-beli.
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.
c. Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu.
d. Bisa Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum. Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :
• Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
• Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
• Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

BAB VI : JUAL-BELI MURABAHAH
A. Pengertian Murabahah
Murabahah didefinisikan oleh para Fugaha sebagai penjualan seharga biaya/harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan yang disepakati. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus memberitahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambah pada biaya (cost) tersebut.
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
B. Syarat Murabahah
Dalam murabahah dibutuhkan beberapa syarat, antara lain:
1. Mengetahui harga pertama (Harga Pembelian)
Pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu adlah syarat sahnya transaksi jual beli.
2. Mengetahui besarnya keuntungan
Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan, karena ia merupakan bagian dari harga (tsaman), sedangkan mengetahui harga adalah syarat sahnya jual beli.
3. Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis, seperti benda-benda yang ditakar, ditimbang dan dihitung
Syarat ini diperlukan dalam murabahah dan tauliyah, baik ketika jual beli dilakukan dengan penjual pertama atau orang lain. Serta baik keuntungan dari jenis harga pertama atau bukan, setelah jenis keuntungan disepakati berupa sesuatu yang diketahui ketentuannya, misalkan dirham atau yang lainnya.
4. Sistem murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut terhadap harga pertama
Seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang sejenis dengan takaran yang sama, maka tidak boleh menjualnya dengan system murabahah.
C. Jenis Murabahah
Murabahah dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Murabahah tanpa pesanan
Maksudnya adalah ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, Bank Syariah menyediakan dagangannya, penyediaan barang pada murabahah ini tidak terpengaruh atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
2. Murabahah berdasarkan pesanan
Bank Syariah baru akan melakukan transaksi murabahah apabila ada nasabah yang memesan barang, sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah ini dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, maksudnya apabila telah dipesan harus dibeli.
b) Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat tidakmengikat , maksudnya walaupun nasabah sudah memesan, nasabah bias menerima atau membatalkan barang tersebut.
D. Rukun Murabahah
1. Pihak yang berakad
a. Penjual
b. Pembeli
2. Objek yang diakadkan
a. Barang yang diperjualbelikan
b. Harga
3. Akad/sighat
a. Serah (ijab)
b. Terima (qabul)

BAB VII : JUAL-BELI SALAM
A. Pengertian
Istilah salam sering juga disebut dengan salaf. Di kebanyakan hadits nabawi, istilah yang nampaknya lebih banyak digunakan adalah salaf. Namun dalam kitab fiqih, lebih sering digunakan salam.
1. Bahasa
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats-tsauba lil al-khayyath bermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
2. Istilah Syariah
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi : (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Dengan bahasa yang mudah, akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutang bukan uang pembayarannya, melainkan barangnya. Sedangkan uang pembayarannya justru diserahkan tunai.
Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit. Kalau jual-beli kredit, barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salaf, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya belum diserahkan dan menjadi hutang.
B. Landasan Hukum
Akad salam ditetapkan kebolehannya di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan juga ijma'.
1. Al-Quran
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS. Al-Baqarah : 282)
2. As-Sunnah
Sedangkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah, dalil dengan salam ini disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas RA.
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ ص اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa meminjamkan buah kurma satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,"Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil Ijma'
Ibnu Al-Munzir menyebutkan bahwa semua orang yang kami kenal sebagai ahli ilmu telah bersepakat bahwa akad salam itu merupakan akad yang dibolehkan.
C. Rukun Akad Salam
1. Shighat
Shighat itu adalah ijab dan qabul, dimana penjual mengicpakan lafadz ijab kepada pembeli, seperti aslamtuka (aku jual secara salam) atau aslaftuka (aku jual secara salaf), atau dengan kata-kata lain yang menjadi musytaq dari keduanya.
Sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak yang membeli secara salam, seperti ucapan : qabiltu (saya terima), atau radhitu (saya rela), atau sejenisnya yang punya makna persetujuan.
2. Kedua-belah Pihak
Yang dimaksud dengan kedua-belah pihak adalah keberadan penjual dan pembeli yang melakukan akad salam. Penjual sering disebut dengan musallim (مسلم), sedangkan pembeli sering disebut musallam ilaihi (مسلم إليه). Tanpa keberadaan keduanya, maka salah satu rukun salam tidak terpenuhi, sehingga akad itu menjadi tidak sah.
Pada masing-masing harus terdapat syarat, yaitu syarat ahliyah atau syarat wilayah.
Syarat ahliyah maksudnya mereka masing-masing itu adalah pemilik orang yang beragama Islam, aqil, baligh, rasyid .
Sedangkan syarat wilayah, maksudnya masing-masing menjadi wali yang mewakili pemilik aslinya dari uang atau barang, dengan penujukan yang sah dan berkekuatan hukum sama.
3. Uang dan Barang
Uang sering disebut juga dengan ra'sul maal (رأس المال), sedangkan barang disebut dengan musallam fiihi (مسلم فيه).
Akad salam memastikan adanya harta yang dipertukarkan, yaitu uang sebagai alat pembayaran dan barang sebagai benda yang diperjual-belikan.
D. Syarat Akad Salam
Sebuah akad salam membutuhkan terpenuhinya syarat padatiap rukunnya, baik yang terdapat pada uangnya atau pun pada barangnya.
1. Syarat Pada Uang
Uang yang dijadikan alat pembayaran dalam akad salam diharuskan memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Jelas Nilainya
Uangnya harus disebutkan dengan jelas nilainya atau kursnya. Kalau di zaman dahulu, harus dijelaskan apakah berbentuk coin emas atau perak.
b. Diserahkan Tunai
Pembayaran uang pada akad salam harus dilakukan secara tunai atau kontan pada majelis akad salam itu juga, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Bila pembayarannya ditunda (dihutang) misalnya setahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عن ابن عمر ضي الله عنهما أن النبي ص نهى عن بيع الكالئ بالكالئ- رواه الدارقطني والحاكم والبيهقي
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW melarang jual-beli piutang dengan piutang." (HR Ad-Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy).
Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan salam, karena adanya pembayaran di muka.
Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang yang haram hukumnya.
2. Syarat Pada Barang
a. Bukan Ain-nya Tapi Spesifikasinya
Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.
b. Barang Jelas Spesifikasinya
Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النبي ص نهى عن بيع الغرر- رواه مسلم
Nabi SAW jual-beli untung-untungan." (HR Muslim)
c. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad
Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.
Batas Minimal Penyerahan Barang
• Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu.
• Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
• Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
• Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.
d. Jelas Waktu Penyerahannya
Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama.
Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.
e. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار. رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني.
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan. (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
f. Jelas Tempat Penyerahannya
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
BAB VIII : JUAL-BELI ISTISHNA'
A. Definisi
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u (اتصنع - يستصنع). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Jadi secara sederhana, istishna' boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
B. Landasan Hukum
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
1. Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2. As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.
3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
4. Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
5. Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
C. Rukun
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi : [1] Kedua-belah pihak, [2] barang yang diakadkan dan [3] shighah (ijab qabul).
1. Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
D. Syarat
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
a. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
b. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at.
c. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal
Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat.
Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
BAB IX : IJARAH
A. Pengertian
Ada beberapa definisi ijarah menurut para ulama mazhab, yaitu :
• Al-Hanafiyah, ijarah adalah : akad atau transaksi manfaat dengan imbalan.
• Ay-syafi'iyah, ijarah adalah : transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu.
• Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, ijarah adalah : pemilikan manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.
B. Landasan Hukum
Para fuqaha telah bersepakat tentang kebolehan hukum ijarah ini dengan beberapa dalil dari Al-Quran Al-Kariem dan juga dari sunnah nabawiyah.
Namun sebagian kecil ulama ada juga yang mengharamkannya dengan beberapa alasan. Di antara mereka misalnya Hasan Al-Basri, Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Aliyah, Ibnu Kisan dan lainnya.
Namun hajat semua orang yang sangat membutuhkan manfaat suatu benda, membuat akad ijarah ini menjadi boleh. Sebab tidak semua orang bisa memiliki suatu benda, namun sudah pasti tiap orang butuh manfaat benda itu
Maka ijarah dibolehkan, selain memang Allah SWT telah memastikan kebolehan transaksi ijarah, sebagaimana sejumlah keterangan dari Al-Quran dan As-Sunnah berikut ini :
وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.. (QS. Al-Baqarah : 233)
C. Rukun Ijarah
Jumhur ulama menetapkan bahwa sebuah akad ijarah itu setidaknya harus mengandung 4 unsur yang menjadi rukun. Dimana bila salah satu rukun itu kurang atau tidak terpenuhi, maka akad itu menjadi cacat atau tidak sah.
1. Al-'Aqidani (dua belah pihak)
2. Shighat
3. Pembayaran
4. Manfaat
D. Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu:
1. Syarat al-inqad(terjadinya akad
2. Syarat sn-nafadz (syarat pelaksanaan akad)
3. Syarat sah
4. Syarat lazim.

BAB X : AKAD JU’ALA
A. Pengertian Ju’alah
Ju’alah ( الجعا لة )artinya janji hadiah atau upah. berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizam اللتزام (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
B. Dasar Hukum Ju’alah
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa Ju'alah boleh dilakukan berdasarkan Firman Allah swt dalam Q.S. Yusuf ayat 72:
            
Artinya : penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
C. Rukun dan Syarat Ju’alah
Rukun Ju’alah yaitu:
1. Sighot
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah
4. maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5. Upah / hadiah/ fee
Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
a. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
b. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).
c. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan bayaran sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak mendapatkan komisi/fee.
d. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
e. Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
D. Sifat Akad Ju’alah
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memandang bahwa akad Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja di batalkan oleh kedua belah pihak.
Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat. Mazhab Maliki berpendapat bahwa Ju'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali, pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan. Namun jika pihak pertama membatalkannya sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan kadar pekerjaan yang telah dilaksanakannya.

BAB XI : TEOI WADI’AH
A. Pengertian
Secara etimologi, wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Sedangkan secara terminology, ada dua defenisi wadi’ah yang dikemukakan pakar fiqh:
• Menurut ulama Hanafiyah, wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan,
maupun melalui isyarat.
• Menurut jumhur ulama, wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
B. Dasar Hukum
1. Al-Quran
         •                 ... 
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian.
2. As-Sunnah
.ٓعنْ أَبي ھريره قل النّبي صلى اللّهم عليه وسلم أد المانةإلى من اٮتٔمنك و ل تخن من خانك
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”sampaikanlah (tunaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianati kamu” (HR Abu Dawud, al-Tarmizi dan al-Hakim)
3. Ijma’
Para ulama daria zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad wadiah ini karena manusia memerlukannya dalam kehidupan muamalah.
C. Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda-benda titipan ada empat macam yaitu:
a. Sunat, disunatkan menitipkan pada orang yang terpercaya kepada dirinya bahwa ia sanggup menerima benda-benda yang ditiutipkan kepadanya.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipkan pada seseorang yang terpercaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut sementara oarng lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercay untuk memelihara benda-benda tersebut.
c. Makruh, bagi orang yang dipercay kepada dirinya sendiri bahwa ia mwmpu menjaga benda-bena titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda titipan atau menghilangkannya.
d. Haram,apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda
titpan
D. Rukun dan Syarat Wadi’ah
Ulama Hanfiyah menyatakan bahwa hanya ijab yang menjadi satu-satunya rukun dari wadi’ah. Sedangkan qabul bukan merupakan rukun. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun dari wadi’ah ada tiga macam:
1. Orang yang berakad, yaitu yang menitipkan (mu waddi’) dan yang menerima titipan (wadii’). Pihak-pihak ini disyaratkan telah baligh, berakal, dan cerdas (rusyd) karena akad al-wadi’ah merupkan akad yang mengandung banyak resiko penipuan.
2. Barang titipan (syai’ muwadda), syaratnya barang titipan itu wujudnya dan bisa dikuasai.
3. Shigat ijab dan qabul baik secara lafal maupun perbuatan.

BAB XII : TEORI RIBA
A. Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
B. Pembagian Riba
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi" (Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205).
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan "barang ribawi".
Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja.
4. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah. Nasi'ah bersal dari kata nasa' yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
C. Hukum riba
a. Riba adalah bagian dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاَللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi).
b. Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT di dalam Al-Quran, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan sampai Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa riba itu sangat besar dan berat.
يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّه وَذَرُوامَا بَقِيَ مِنْ الرِّبَا إنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan , maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (QS. Al-Baqarah : 278-279)
c. As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, Al-Kufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
• At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.
• Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya
• Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT. Dan dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.

BAB XIII : SYIRKAH
A. Pengertian
Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada.
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
B. Landasan Hukum
Syirkah disyariatkan berdasarkan Al-Quran Al-Karim, As-Sunnah dan Al-Ijma'.
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ
tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…" (QS. An-Nisa: 12).
Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.
C. Jenis-jenis Syirkah
Syirkah itu ada dua macam, yaitu Syirkatul Amlak dan Syirkatul Uqud.
ii. Syirkah Amlak (Kepemilikkan)
Maksudnya adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan satu barang dengan sebab kepemilikan. Misalnya dengan proses jual beli, hibah atau warisan, dimana barang itu dimiliki secara bersama oleh beberapa orang.
iii. Syirkah Uqud (Transaksi)
Maksudnya adalah akad kerjasama antara dua orang atau lebih yang bersekutu dalam usaha, biak modal maupun keuntungan. Dalam implementasinya, Syirkah Transaksi terdiri dari beberapa jenis lagi :
a. Syirkatul Inan.
Syirkah ini adalah persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama.
Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah semacam ini berdasarkan ijma' dibolehkan, namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan.
b. Syirkatul Abdan (syirkah usaha).
Syirkah ini adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerjasama sesama dokter di klinik, atau sesama tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Semuanya dibolehkan. Namun Al-Imam Asy-Syafi'i melarangnya. Disebut juga dengan Syirkah Shanai wat Taqabbul.
c. Syirkatul Wujuh
Syirkah ini adalah kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorangpun yang memiliki modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah dan Hanabilah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.
d. Syirkatul Mufawadhah
Syirkah ini adalah kerjasama dimana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hingga akhir. Kerja sama ini mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang.
Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh Asy-Syafi'i. Kemungkinan yang ditolak oleh beliau adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya.

BAB XIV : MUDHARABAH
A. Pengertian
Mudharabah dalam bahasa Arab merupakan bentuk wazan mufa'alah dari kata dharaba, yang berarti [1] memukul dan [2] melakukan perjalanan.
Dalam hal ini yang lebih digunakan adalah melakukan perjalanan, dimana di masa Rasulullah SAW, mengadakan perjalanan itu identik dengan melakukan perniagaan atau perdagangan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, mudharabah didefinisikan sebagai (عقد شركة في الربح بمال من جانب وعمل من جانب), yaitu akad persekutuan dalam keuntungan dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lain.
B. Landasan Hukum
Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam syariah Islam berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma' para fuqaha.
1. Al-Quran Al-Kariem
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an (QS. Al Muzammil : 20)
2. As-Sunnah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ :كَانَ العَبّاسُ بنِ عَبْدِ المطَّلِب رَضي اللّه عنه إِذَا دَفَعَ مَالاً مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلىَ صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْراً وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِياً وَلاَ يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطبةٍ فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ فَرُفِعَ شَرْطَهُ إِلىَ رَسُولِ اللّهِ ص فَأَجَازَهُ
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Al-Abbas bin Abdil Mutthalib RA bila menyerahkan harta secara mudharabah mensyaratkan kepada rekannya untuk tidak membawa harta itu melewati laut, atau menuruni lembah dan tidak membelanjakan hewan yang punya hati kering. Dia rekannya menyetujui syarat itu maka dia menjaminnya. Maka diangkatlah syarat itu kepada Rasulullah SAW dan beliau SAW membolehkannya (HR. Al-Baihaqi)
3. Ijma'
Kebolehan akad mudharabat ini dikuatkan dengan ijma', dimana diriwayatkan bahwa banyak diantara para shahabat Nabi SAW menyerahkan harta anak yatim dalam bentuk mudharabah.
Di antara mereka adalah Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, Ubaidillah bin Umar, serta Aisyah ridhwanullahi alaihim. Dan tidak ada satu pun riwayat yang mengingkari adanya hal itu.
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga zaman ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi SAW.
C. Jenis Mudharabah
Para ulama membagi Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Muthlaqah
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
2. Muqayyadah (terbatas)
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan mudharib.
Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
D. Rukun Mudharabah
Mudharabah memiliki tiga rukun: [1] Pelaku, baik investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib), [2] Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan. [3] Pelafalan perjanjian.
1. Pelaku
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (jaizut-tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.
Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.
2. Objek Transaksi
Objek transaksi dalam mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
a) Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
b) Modal yang diserahkan harus jelas diketahui
c) Modal yang diserahkan harus tertentu
d) Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha disini disyaratkan beberapa syarat:
a) Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
b) Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
a. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
b. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
c. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
d. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
3. Pelafalan Perjanjian
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
E. Syarat Dalam Mudharabah
Pengertian syarat dalam Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan mudharabah. Syarat dalam Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat Sah
Syarat yang ini menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan.
Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat fasad (tidak benar)
Syarat ini terbagi tiga:
d. Syarat meniadakan tuntutan konsekuensi akad
Seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
e. Syarat yang bukan dari kemaslahatan
Juga bukan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
f. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan
Misalnya mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.

BAB XV : AKAD WAKALAH
B. Pengertian
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula pengertian-pengertian lain dari Wakalah yaitu:
a. Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b. Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
C. Dasar Hukum Wakalah
Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
1. Al-Qur’an:
             •                         •   
Artinya : Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun (QS. Al-Kahfi : 19).
2. Al-Hadits:
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
3. Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.
D. Rukun dan Syarat-Syarat dalam Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
1. Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
• Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
• Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
2. Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
• Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
• Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
3. Obyek yang diwakilkan.
• Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
• Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
• Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4. Shighat
• Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
• Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
• Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

SUMBER BACAAN
1. http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html
2. http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-hak.html
3. http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-kepemilikan.html
4. http://master-exselen.blogspot.com/2011/07/teori-akad-dalam-fiqh-muamalah.html
5. http://pasar-islam.blogspot.com/2011/04/fiqih-muamalah-bab-3-murabahah-jual.html
6. http://www.scribd.com/doc/44879467/makalah-jual-beli
7. http://pengusahamuslim.com/jual-beli-salam-dan-syaratnya-34-kebutuhan-masyarakat-terhadap-jual-beli-salam
8. http://cintaebook.blogspot.com/2011/02/fiqh-muamalat.html
9. http://yahya-ibrahim.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
10. http://www.ekonomisyariah.net/index.php?page=Rubrik:ViewDetailPageDetail&id=1
11. http://www.scribd.com/doc/57585496/Fiqh-Muamalat-Jualah
12. http://ida-bjn.blogspot.com/2011/12/prinsip-titipan-atau-simpanan-deposito.html
13. http://www.scribd.com/alchaidar/d/17809597/29-Teori-Riba-Bunga-Rente
14. http://gusfajar-al-mujahadah.blogspot.com/2010/03/akad-syirkah.html
15. http://pengusahamuslim.com/mengenal-akad-mudharabah
16. http://viewislam.wordpress.com/2009/04/16/konsep-akad-wakalah-dalam-fiqh-muamalah/