Minggu, 07 Oktober 2012

HADIS TENTANG LALAT


Di antara hadis yang ditolak mereka dengan alasan tidak rasional adalah hadis tentang lalat, yaitu sabda Rasulullah SAW:
اِذَا وَقَعَ الذُّ بَا بُ فى إنَا ءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لْيَطْرَ حْهُ فَإنَّ فِى أَحَدِ جَنَا حَيْهِ دَا ءٌ وَالْاخَرُ شِفَاءٌ (اخرجه البخار)
"Jika lalat itu menghinggap di bejana salah satu di antara kamu, maka hendaklah benamkan is seluruhnya kemudian buanglah. Se­sungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit dan sayap yang lain sebagai obat/penyemblih." (HR. al-Bukhari)[1]
Hadis tersebut sangat shahih dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurayrah. Ada lima redaksi yang berbeda dalam satu makna pada hadis tersebut, akan tetapi sanadnya juga berbeda sekalipun satu periwayat. Kualitas hadis tersebut sangat shahih, baik sanad dan ma­tannya hanya menurut Mahmud Abu Rayyah dipandang sebagai hadis palsu (mawdlu'), karena berbagai alasan di antaranya, matan hadis bertentangan dengan akal atau alam.[2]
Para ulama hadis telah banyak yang memberikan kritik inter­nal hadis lalat tersebut dalam beberapa kitab syarah, di antaranya al-'Asqalaniy dalam Fath al-Bariy Syarah al-Bukhari menyebutkan, al-Khathabiy, Ibn al-Jawziy, clan sebagian dokter menjelaskan yang pada kesimpulannya, bahwa banyak di antara binatang yang dibekali dua potensi yang kontra, seperti lebah mempunyai senjata sengatan yang beracun clan dapat meneteskan madu yang manis, ular memiliki gigitan beracun yang mematikan sedang dagingnya sebagai penawar, dan lalat salah satu sayapnya mengandung kuman penyakit sedang sayap sebelah yang lain mengandung pengobatannya. Jika lebah diberi petunjuk Allah mampu menciptakan rumahnya yang indah dan me­nakjubkan untuk bersarang madu clan bertelur, sangat mudah bagi lalat. [dengan petunjuk Allah] ketika menghadapi lawan sayap yang mengandung kuman itu dijadikan senjata,[3] kemudian mukjizat Ra­sul SAW memberitakan tentang suatu rahasia yang tersembunyi pada salah satu sayap lain sebagai penawarnya.
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah (w. 752 H) menjelaskan, bahwa hadis tersebut memberikan dua masalah penting, yaitu masalah hukum dan kesehatan. Masalah hukum yang dapat dipetik menurut jumhur ula­ma, tidak najis air minum yang dijatuhi bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya seperti lalat. Masalah kesehatan, lalat mempunyai potensi salah satu sayapnya beracun sebagai senjata ketika meng­hadapi musuh. Nabi perintah menenggelamkan seluruh fisik lalat itu ke dalam suatu makanan atau ininuman, sebagai pengobatannya. Be­berapa dokter menyebutkan, sengatan lalat dan kala jengking dapat disembuhkan dengan diolesinya dengan lalat itu.[4]
Hadis lalat tersebut berkaitan dengan masalah kedokteran dan ilmiah yang memerlukan verifikasi, bukan masalah yang berkaitan dengan dasar agama atau misi risalah. Kebenaran hadis telah diveri­fikasi oleh para pakar kesehatan dan dokter modern yang mampu me­nyingkap rahasia lalat tersebut setelah diadakan penelitian yang sak­sama. Di antara peneliti [sebagaimana yang dikutip oleh Abu Syahbah (w. 1985) dan pakar hadis lain] adalah Mahmud Kamal clan Muham­mad ' Abd. al-Mun' im, Brifield dari Jerman pada 1871, dua orang clan Inggris Arnystyn dan Chook pada 1947-1950, dan Rolius dari Swiss pada 1950.[5] Di antara kesimpulan mereka, bahwa salah satu sayap la­lat mengandung penyakit suatu kewajaran logic, karena ia biasa hing­gap di tempat-tempat kotor.
Dari tempat-tempat yang kotor itulah ia membawa kuman pe­nyakit melalui kaki, sayap, dan mulutnya, baik kuman kolera, disentri, tipus, dan lain-lain. Kemudian ia hinggap di tempat minuman atau makanan, maka sudah barang tentu, kuman itu menjangkiti pemi­num dan pemakannya, jika tidak mengetahui penawarnya. Makanan dalam perut lalat itu mengandung bakteri dalam bentuk sel-sel bu­lat, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian anggota, terutama yang terdekat dengan perut yakni dua sayap. Di antara bakteri itu ada bakteri negatif yang menimbulkan penyakit tifus, disentri, kolera, clan lain-lain, dan ada pula bakteri positif yang dapat melawan clan mema­tikan bakteri negatif tersebut yang oleh Rolius disebut japacyn.[6]
Sayap yang mengandung terapi bakteri positif itu akan dapat ke­luar dari perut lalat manakala ditekan atau dibenamkan pada minu­man dan makanan yang dihinggapinya. Hal itu diketahui Nabi dengan mukjizatnya 14 abad sebelum diketahui oleh para peneliti di atas, maka beliau perintah membenamkannya ke dalam tempat bejana tersebut.
Perintah membenamkan di sini bersifat anjuran yang tidak mengikat (1i al-tawjih) boleh dibenamkan atau tidak, isi bejana boleh dimakan dan diminum atau tidak. hadis itu menunjukkan perlunya menjaga kebersihan dan kesehatan dari hinggapan kotoran dan ku­man yang dibawa lalat khususnya, di samping menunjukkan kesucian isi bejana yang dijatuhinya.

Disalin dari buku “Pemikiran Modern dalam Sunnah, Pendekaktan Ilmu Hadis, hlm, 268-271




[1] Al-'Asqalaniy, Fath al-Bariy .... Jilid 10, hlm. 311, Hadis ini tidak hanya al-Bukhari saja yang meriwayatkannya, akan tetapi ada tujuh imam yang meriwayatkannya, yaitu Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Majah, al-Darimi, al-Bazzr, dan al-Bukhari
[2] Lihat: Abu Rayyah, Adlwd' 'ala al-Sunnah ..., h1m. 191 dan 196. Alasan lain yang dikemuka­kan oleh Abu Rayyah, redaksi hadis berbeda dan Abu Hurayrah dituduh sebagai pembohong Hadis. Redaksi yang berbeda ada beberapa alasan tidak mesti periwayatan secara makna. Tuduhan bohong terhadap Abu Hurayrah berarti kritik eksternal bukan wilayah penulis dalam konteks pembahasan ini. Namun perlu dijawab secara singkat. Tuduhan bohong terhadap Abu Hurayrah hanya karena curiga banyaknya periwayatan yang mencapai 5.374 hadis, padahal ia masuk Islam belakangan (7 H). Tuduhan itu tak beralasan, karena beberapa faktor, di antaranya; 1. segala waktunya dicurahkan menyertai Rasul pada masa-masa akhir kenabian; 2. memiliki daya ingat yang luar biasa setelah mendapat doa dari Rasul; 3. banyak mengambil Hadis dari para sahabat senior sekalipun Rasul telah wafat; dan 4. Konsekuensi agama yang melarang menyimpan ilmu. Lihat: Abdul Majid Khon, "Sekitar Kritik Terhadap Perawi Hadis Abu Hurayrah," dalam Mimbar Ulama Suara Majlis Ulama Indonesia, No. 226/Rabi' al-Awwal 1418 H/Juni 1997 M, hlm. 23­-28.
[3]  Al-‘Asqalaniy, Fath al-Bari ….., jilid 10, hlm.311.
[4] Ibn al-Qayyim al-Jaawziyah (w.752), al-Thibb al-Nabawi, Takhrij: Muhammad Tamir dan Muhammad al-Sa’id Muhammad, (Kairo: Maktabah Dar al-Taqwa, 1999), Cet. Ke-1, hlm.87-88
[5] Abu Syahbah,Difa' an al-Sunnah, hlm. 171-173, 346-350, dikutip Abu Syahbah dari majalah al-Azhar terbit Rajab tahun 1378 dan majalah al-Tajarub al-Thibblyah al-Injliziyah nomor 1307 tahun 1927, Ibn 'Abd. al-Qadir, al-Madkhal ila al-Sunnah al-Nabawiyah .... hlm. 404, dan Abd. al-Hamid Kisyk, al-Hadits bayn al-Ijtihad…., hlm. 72-73.

[6] Abu Syahbah, Difa’an al-Sunnah, hlm.348-349.